Ketua AKI Franki Kaunang Menyoroti Potensi Ekspor Kratom Menjadi Salah Satu Penggerak Ekonomi Nasional,Tetapi Tanpa Regulasi yang Jelas - Kapuas News

Breaking

About Us

ads header

Selasa, 26 November 2024

Ketua AKI Franki Kaunang Menyoroti Potensi Ekspor Kratom Menjadi Salah Satu Penggerak Ekonomi Nasional,Tetapi Tanpa Regulasi yang Jelas


Pontianak| Dalam ranah politik-ekonomi Indonesia, kratom (Mitragyna speciosa) seolah menjadi entitas yang berdansa dalam kegelapan regulasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: bagaimana mungkin komoditas yang disebut-sebut sebagai “green gold” bisa keluar melintasi batas yurisdiksi tanpa izin ekspor resmi? Pertanyaan ini tidak hanya menyoroti kelemahan administratif, tetapi juga membuka diskursus lebih luas tentang tata kelola negara yang terjebak dalam labirin legalitas dan ambiguitas normatif.  


**Politik Regulasi: Antara *Virtù* dan *Fortuna***  

Kratom, meskipun digadang-gadang sebagai potensi ekspor strategis, tampaknya masih tergantung pada pasang surut interpretasi hukum. Dalam terminologi Niccolò Machiavelli, politik regulasi ini terjebak antara *virtù* (keberanian politik) dan *fortuna* (keberuntungan situasional). Ketidakhadiran regulasi ekspor yang tegas menunjukkan lemahnya *virtù* regulator dalam menciptakan kepastian hukum. Sementara itu, pengusaha kratom seolah bergantung pada *fortuna*, mencari celah melalui jalur non-konvensional untuk menjangkau pasar internasional.  


Ketua Asosiasi Kratom Indonesia (AKI), Franki Kaunang, S.H., menyatakan bahwa kondisi ini mencerminkan “*lex imperfecta*” atau hukum yang tidak sempurna. Ia menekankan pentingnya pemerintah segera menerbitkan regulasi ekspor yang komprehensif dan selaras dengan kebutuhan pasar global. “Pemerintah harus berhenti menjadikan kratom sebagai anak tiri,” ujar Franki, merujuk pada ketidakkonsistenan antara kebijakan domestik dan peluang ekspor internasional.  


**Dimensi Hukum dan Bea Cukai: Sebuah *Quo Vadis* Institusional**  

Dalam konteks yuridis, kratom terjerat dalam regulasi yang terfragmentasi. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan mengatur bahwa setiap barang yang diekspor harus memenuhi ketentuan perizinan ekspor. Namun, bagaimana barang ini dapat lolos tanpa izin? Di sinilah terjadi “*oversight*” atau kelalaian administratif yang menyerupai *Kafkaesque nightmare*.  


Dari sisi Bea dan Cukai, pertanyaannya adalah apakah pengawasan berjalan sesuai *due process of law* atau sekadar seremonial belaka? Jika kratom dapat keluar tanpa izin, hal ini mencerminkan lemahnya koordinasi antara otoritas pemberi izin dan lembaga pengawas. Dalam bahasa filsuf Michel Foucault, kekuasaan yang “tersebar” dalam berbagai institusi sering kali menciptakan paradoks: otoritas hadir tetapi tidak efektif.  


**Ekspor Kratom dan Narasi Global: Sebuah *Laissez-faire* Terselubung?**  

Dalam pasar global, kratom telah menjadi komoditas yang diminati, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Namun, ketidakhadiran regulasi yang memadai di Indonesia seolah membuka jalan bagi *laissez-faire* terselubung. Pengusaha bergerak tanpa pengawasan formal, menciptakan ekosistem perdagangan yang berada di luar kendali negara.  


Franki Kaunang menyoroti bahwa potensi ekspor kratom dapat menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional, tetapi tanpa regulasi yang jelas, Indonesia hanya menjadi “penonton” dalam panggung global. Ia mengusulkan pembentukan payung hukum yang tidak hanya melindungi produsen lokal tetapi juga memberikan legitimasi kepada eksportir di mata internasional.  


**Kesimpulan: Dialektika Hukum dan Pasar**  

Ketiadaan regulasi ekspor kratom yang jelas merupakan bukti nyata dari ketidakmampuan negara untuk memadukan *nomos* (hukum) dengan kebutuhan pasar global. Dalam narasi ini, negara harus segera mengadopsi pendekatan holistik yang melibatkan semua pemangku kepentingan, mulai dari petani, eksportir, hingga asosiasi seperti AKI.  


Seperti kata filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, “Tanpa kepastian, tidak ada kebebasan sejati.” Maka, langkah berikutnya bagi pemerintah adalah memastikan bahwa regulasi ekspor kratom tidak lagi menjadi *terra incognita*, tetapi justru menjadi katalisator bagi kemajuan ekonomi bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar